Resensi Film Ketika Cinta Bertasbih (1)

Oleh : Dikdik Andhika Ramdhan

Ketika Cinta Bertasbih

Ketika Cinta Bertasbih

Menarik! Jika kita melihat satu karya visual ini serta disandingkan dengan beberapa komentar dari mereka yang sudah menontonnya. Ada banyak sanjungan serta pujian, namun pula tak sedikit lagi-lagi kritikan bersandar pada dinding-dinding kesuksesan film tersebut.

Sebuah film yang diambil dari sebuah novel karya Habiburrahman El Shirazy, yang berhasil menyandang predikat sebagai novel “Mega Best Seller” ini, memang telah lama dinantikan oleh jutaan calon penontonnya dari jauh-jauh hari. Hal ini terbukti dengan banyaknya perhatian masyarakat pada proses pembuatan film ini mulai dari proses casting, survey lokasi, shooting, editing sampai kini ketika film tersebut berhasil bertengger di layar-layar bioskop. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga sekaligus di 7 negara lainnya.

Banyaknya harapan akan film ini akhirnya dipertaruhkan pada tangan apik sang sutradara senior Chaerul Umam. Bersama dengan berbagai kalangan senior perfilm-an Indonesia, Sinemart sebagai Production House yang menggarap film ini akhirnya kini berhasil mempersembahkannya pada khalayak.

Film ini secara keseluruhan tak ada sedikitpun yang melenceng dari alur cerita yang ada di novel-nya. Bahkan jika kita telah membaca novel itu sebelumnya, kita tidak akan pernah sulit untuk menebak apa yang akan terjadi pada scene berikutnya dari film ini ketika menyaksikan sebuah karya visual ini.

Namun sayangnya memang sebuah konsekuensi harus diterima oleh masyarakat, dengan padatnya alur cerita yang ada, sehingga menjadikan film ini cukup membuat sebagian dari para penontonnya sempat kecewa ketika dengan terpaksa film ini harus dibagi menjadi dua bagian, seperti halnya cerita yang ada pula pada novelnya.

Hal ini menjadikan sebagian orang berpendapat film  Ketika Cinta Bertasbih pada bagian pertama ini tak terdapat klimaks didalamnya. Semua bagai aliran air yang mengalir saja.

Pada lain hal, jika kita lihat dari sisi syariah-nya, film-film ini betul-betul sangat amat menjaganya. Beberapa adegan yang dikhawatirkan dapat merusak pesan yang ada pada film inipun, ketika misalnya adegan dua orang yang jelas-jelas bukan muhrim untuk berada pada scene yang sama, seperti ketika Azzam pertama kali bertemu kembali dengan adiknya Husna, jika menurut novel mereka berpelukkan, namun disini tidak ditampilkan demikian, bahkan bersentuhan tanganpun tidak. Subhanalloh, ini sebuah nilai tambah yang tak terkira. dan terbukti hal itu ternyata tidak sedikitpun mengurangi nilai estetika dari film ini sama sekali.

Kemudian, tampilan mesir sebagai setting tempat yang dijadikan faktor unggulan di film inipun digeber habis-habisan oleh sang sutradara. Tidak heran jika kita melihatnya film ini, kita seakan berada disana mengikuti jejak-jejak para tokoh yang ada didalamnya. Dari mulai Cairo, Nile City, Alexandria, dsb semua ditampilkan secara maksimal.

Namun memang, ada beberapa scene yang disayangkan sepertinya kurang maksimal dalam penggarapan film ini. Seperti halnya ketika adegan pertemuan Azzam dan Furqon sebagai sepasang sahabat lama yang bertemu kembali dengan lattar langit Alexandria, langit itu beserta cropping dari tubuh kedua tokoh sepertinya agak kasar, dan “outer glow”-nya nya-pun masih sangat kelihatan.

Selebihnya, film ini cukup layak untuk dijadikan film yang direkomendasikan layak ditonton. Bahkan tak perlu takut jika kita membawa anak-anak kecil sekalipun, karena boleh dibilang tak ada satupun scene yang berbahaya bagi mereka.

Semoga awal niat yang baik dari penggarapan film ini bisa juga mengantarkannya kepada hasil yang terbaik pula. Maju terus perfilm-an Indonesia.

InsyaAlloh …

1 thoughts on “Resensi Film Ketika Cinta Bertasbih (1)

  1. mulyadi berkata:

    trima kasih banyak informasinya

Tinggalkan komentar